Sistem Politik
Indonesia Pada Masa Reformasi
Oleh : Lina Supriyani
(F1C010008)
Sejak merdeka tahun 1945, Indonesia
sudah beberapa kali mengalami sistem pemerintahan. Tahun 1945-1965 merupakan
sisten pemerintahan orde lama, yang mana pada era Presiden Soekarno. Setelah
masa Presiden Soekarno tumbang, kekuasaan diserahkan kepada Jenderal Soeharto
yang akhirnya melahirkan sistem pemerintahan orde baru. Orde baru berlangsung
dari tahun 1966-1998 tahun. Karena sudah terlalu lama menjabat dan
merajalelanya KKN, Presiden Soeharto digulingkan oleh rakyat Indonesia yang
akhirnya melahirkan zaman baru bagu Indonesiam yaitu Reformasi. Reformasi
berlangsung dari tahun 1998 sampai dengan sekarang.
Stabilitas politik telah dianggap
sebagai salah satu dasar berpikir yang empiris untuk penyusunan strategi
kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Indonesia, termasuk sistem politik itu
sendiri. Pemanfaatannya untuk melandasi usaha penataan kembali kehidupan
kekuatan-kekuatan politik di Indonesia, sudah menjadi pembuktian terhadap teori
adanya kaitan politisi.
Setiap periode pemerintahan memilki
ciri khasnya masing-masing, orde baru dikenal dengan keotoriteran rezim
Presiden Soeharto sedangkan masa Reformasi dianggap sebagai masa berjayanya
demokrasi. Masa reformasi disebut sebagai masa demokrasi, yaitu kekebasan
dampir disegala asek kehidupan, termasuk dalam kehidupan politik. Misalnya,
pada masa orde baru pemenang Pemilihan Umum (pemilu) sudah dipastikan, namun
pada masa reformasi benar-benar merupakan persaingan yang terbuka. Dalam hal
pengambilan kebijakan, rakyat dapat menyalurkan aspirasinya secara bebas
melalui wakil rakyat mau pun media, meskipun pada kenyataannya aspirasi rakyat
saat ini cenderung tidak didengar, setidaknya rakyat tidak membungkam saat pada
masa orde baru.
Sudah bisa dipastikan nasib
jurnaslime (media) Indonesia pada masa orde baru dan reformasi itu berbeda.
Nasib pers bergantung dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Saat orde baru mulai tumbang, pers seperti kehilangan kendali. Arus kebebasan
dibuka lebar-lebar secara spontan. Gelombang kebebasan pers tercipta secara
besar-besaran, bukan perlahan dengan proses yang seharusnya. Sejak
dikeluarkannya Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers, terdapat pasal di
dalam Undang-undang ini yang menyatakan pencabutan semua Undang-undang Pers
yang ada sebelumnya. Sejak saat itu tidak ada lagi kebijakan pemerintah yang
memberatkan pers, akhirnya permintaan untuk izin peneribatan mulai meningkat.
Pers pada masa Reformasi selalu
dihubungkan dengan demokrasi, yaitu kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan
pendapat. Terciptanya jurnalisme yang independen, kenyataannya saat ini pers
masih dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. Pers masa
Reformasi bebsa untuk menuliskan kritik apapun terhadap pemerintah, tidak
adanya lagi pembungkaman apalagi pembrendelan. Apabila pemerintah tersinggung
dengan apa yang disampaiakan rakyat melalui pers jalan untuk melawannya bukan
dengan membrendel pers melainkan dengan memanfaatkan pers itu sendiri sebagai
alat komunikasi yang efektif antara masyarakat dengan pemerintah. Pers masa
Reformasi menempatkan sebagai perantara rakyat dengan pemerintahnsuoaya tidak
terjadi perdebatan persepsi. Selain itu pers menjadi saran masyarakat untuk
menyalurkan aspirasina, baik berupa tuntutan maupun dukungan. Pers menjadi
wadah pemerintah untuk mensosialisasikan kebijakan-kebijakan yang telag
diambilnya, pers menjadi wadah pemerintah untuk mengetahui apakah
kebijakan-kebijakan yang akan diambil dapat disetujui atau tidak oleh
masyarakat. Apabila suatu kebijakan telah diambil dan dilaksanakan, maka pers
dapat mengambil perannya sebagai pengontrol kebijakan. Oleh karena itu, pers
pada masa Reformasi senantiasa melaksanakan fungsinya pada setiap proses sistem
politik.
Dengan adanya kebebasan pers pada
masa Reformasi bukan berati tidak menimbulkan masalah apapun. Kebebasan pers
masa Reformasi terlewat batas, adanya ketidaksinambungan antara keinginan
masyarakat dengan kepentingan pers. Pers cenderung menampilkan sesuatu
yang berbau komersil dan hanya memikirkan keuntungan perusahaan. Berita yang
disajikan terkadang tidak objektif, dan terkadang melanggar kode etiknya
sendiri. Norma dan nilai yang ada dimasyarakat diabaikan. Pers tidak lagi
menghargai privasi sumber berita. Contohnya, pers seharusnya fokus hanya pada
masalah yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, seperti kebijakan
pemerintah. Akan tetapi pers menambahkannya dengan urusan pribadi sumber
berita, hal itu sangat melanggar norma.
Pers menjadi lupa bahwa kebebasan
pun masih harus ada batasnya. Dimasa reformasi pers lebih menampilkan diri
sebagai pihak yang dekat dengan kekuasaan dan modal. Hal ini harus dapat
diantisipasi oleh masyarakat sebagai pengawas dari perilaku pers di Indonesia.
Referensi :
Charles,
F. Andrain. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyarakrta, 1992.
Sanit, Arbi.
Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
1 komentar:
Nice Share Mba :D
Posting Komentar