18 April 2013

Sistem Politik Indonesia Pada Masa Reformasi



Sistem Politik Indonesia Pada Masa Reformasi
Oleh : Lina Supriyani (F1C010008)

            Sejak merdeka tahun 1945, Indonesia sudah beberapa kali mengalami sistem pemerintahan. Tahun 1945-1965 merupakan sisten pemerintahan orde lama, yang mana pada era Presiden Soekarno. Setelah masa Presiden Soekarno tumbang, kekuasaan diserahkan kepada Jenderal Soeharto yang akhirnya melahirkan sistem pemerintahan orde baru. Orde baru berlangsung dari tahun 1966-1998 tahun. Karena sudah terlalu lama menjabat dan merajalelanya KKN, Presiden Soeharto digulingkan oleh rakyat Indonesia yang akhirnya melahirkan zaman baru bagu Indonesiam yaitu Reformasi. Reformasi berlangsung dari tahun 1998 sampai dengan sekarang.
            Stabilitas politik telah dianggap sebagai salah satu dasar berpikir yang empiris untuk penyusunan strategi kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Indonesia, termasuk sistem politik itu sendiri. Pemanfaatannya untuk melandasi usaha penataan kembali kehidupan kekuatan-kekuatan politik di Indonesia, sudah menjadi pembuktian terhadap teori adanya kaitan politisi.
            Setiap periode pemerintahan memilki ciri khasnya masing-masing, orde baru dikenal dengan keotoriteran rezim Presiden Soeharto sedangkan masa Reformasi dianggap sebagai masa berjayanya demokrasi. Masa reformasi disebut sebagai masa demokrasi, yaitu kekebasan dampir disegala asek kehidupan, termasuk dalam kehidupan politik. Misalnya, pada masa orde baru pemenang Pemilihan Umum (pemilu) sudah dipastikan, namun pada masa reformasi benar-benar merupakan persaingan yang terbuka. Dalam hal pengambilan kebijakan, rakyat dapat menyalurkan aspirasinya secara bebas melalui wakil rakyat mau pun media, meskipun pada kenyataannya aspirasi rakyat saat ini cenderung tidak didengar, setidaknya rakyat tidak membungkam saat pada masa orde baru.
            Sudah bisa dipastikan nasib jurnaslime (media) Indonesia pada masa orde baru dan reformasi itu berbeda. Nasib pers bergantung dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Saat orde baru mulai tumbang, pers seperti kehilangan kendali. Arus kebebasan dibuka lebar-lebar secara spontan. Gelombang kebebasan pers tercipta secara besar-besaran, bukan perlahan dengan proses yang seharusnya. Sejak dikeluarkannya Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers, terdapat pasal di dalam Undang-undang ini yang menyatakan pencabutan semua Undang-undang Pers yang ada sebelumnya. Sejak saat itu tidak ada lagi kebijakan pemerintah yang memberatkan pers, akhirnya permintaan untuk izin peneribatan mulai meningkat.
            Pers pada masa Reformasi selalu dihubungkan dengan demokrasi, yaitu kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat. Terciptanya jurnalisme yang independen, kenyataannya saat ini pers masih dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. Pers masa Reformasi bebsa untuk menuliskan kritik apapun terhadap pemerintah, tidak adanya lagi pembungkaman apalagi pembrendelan. Apabila pemerintah tersinggung dengan apa yang disampaiakan rakyat melalui pers jalan untuk melawannya bukan dengan membrendel pers melainkan dengan memanfaatkan pers itu sendiri sebagai alat komunikasi yang efektif antara masyarakat dengan pemerintah. Pers masa Reformasi menempatkan sebagai perantara rakyat dengan pemerintahnsuoaya tidak terjadi perdebatan persepsi. Selain itu pers menjadi saran masyarakat untuk menyalurkan aspirasina, baik berupa tuntutan maupun dukungan. Pers menjadi wadah pemerintah untuk mensosialisasikan kebijakan-kebijakan yang telag diambilnya, pers menjadi wadah pemerintah untuk mengetahui apakah kebijakan-kebijakan yang akan diambil dapat disetujui atau tidak oleh masyarakat. Apabila suatu kebijakan telah diambil dan dilaksanakan, maka pers dapat mengambil perannya sebagai pengontrol kebijakan. Oleh karena itu, pers pada masa Reformasi senantiasa melaksanakan fungsinya pada setiap proses sistem politik.
            Dengan adanya kebebasan pers pada masa Reformasi bukan berati tidak menimbulkan masalah apapun. Kebebasan pers masa Reformasi terlewat batas, adanya ketidaksinambungan antara keinginan masyarakat dengan kepentingan pers. Pers cenderung menampilkan sesuatu yang berbau komersil dan hanya memikirkan keuntungan perusahaan. Berita yang disajikan terkadang tidak objektif, dan terkadang melanggar kode etiknya sendiri. Norma dan nilai yang ada dimasyarakat diabaikan. Pers tidak lagi menghargai privasi sumber berita. Contohnya, pers seharusnya fokus hanya pada masalah yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, seperti kebijakan pemerintah. Akan tetapi pers menambahkannya dengan urusan pribadi sumber berita, hal itu sangat melanggar norma.
            Pers menjadi lupa bahwa kebebasan pun masih harus ada batasnya. Dimasa reformasi pers lebih menampilkan diri sebagai pihak yang dekat dengan kekuasaan dan modal. Hal ini harus dapat diantisipasi oleh masyarakat sebagai pengawas dari perilaku pers di Indonesia.


Referensi :
Charles, F. Andrain. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyarakrta, 1992.
Sanit, Arbi. Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

1 komentar:

Fariz mengatakan...

Nice Share Mba :D

Posting Komentar

 
;